Rabu, 07 Desember 2016

SEJARAH JILBAB

Sejarah Jilbab/Kerudung dan Perkembangannya
Jilbab sudah dikenal sejak dulu. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dalam banyak istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya konsep berjilbab memang milik semua agama. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) diistilahkan dengan zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.

Menurut Eipstein, seperti dikutip Ust. Nasaruddin Umar dalam tulisannya, "Hijâb sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani / Kristen)" jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Dengan demikian sejarah mencatat bahwa jilbab sendiri merupakan bagian dari busana yang dianjurkan atau dikenalkan atau di wajibkan atau menjadi identitas dari agama-agama besar di dunia. Dapat disimpulkan bahwa jilbab/Hijaab muncul dari lingkungan keagamaan dan menjadi tradisi kehormatan di lingkungan terhormat (kerajaan, biara, ordo, tempat ibadah, dsb). Bila membandingkan dengan sejarah rok mini, jelas jilbab lahir dari semangat dan miliu yang berbeda. 

Jilbab/Hijab/Kerudung awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya akibat dari dorongan syaraiat, artinya munculnya ide budaya materi Jilbab/Hijab/Kerudung adalah berasal dari hukum Alloh yang jelas, sudah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud, dan dalam kadar seperti apa sesuatu bisa disebut sebagai sebuah Jilbab/Hijab/Kerudung (Al ~ Qur’an surat An – Nur (24): 31). Sehingga manusia tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini, penulis menafsirkan awalnyaJilbab/Hijab/Kerudung masih sebatas sebagai fungsi teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat oleh orang lain, untuk menghindari maksiat bagi yang melihat( Al ~ Qur’an surat Al – Ahzab (33): 59). Kemudian fungsiJilbab/Hijab/Kerudung tidak hanya sebatas sebagai fungsi teknis saja. Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah, akan tetapi Jilbab/Hijab/Kerudungjuga sebagai sebuah identitas bagi si pemakainya. akibatnya masyarakat Arap yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai syariat memiliki identitas sosial baru, yaitu sebagai seorang wanita muslim yang dihormati dan lelaki segan dan tidak menggangu, demikianlah catatan sejarah berkata. Sehingga jika Jilbab/Hijab/Kerudung dikaitkan sebagai sebuah identitas sosial kaitanya dengan keagamaan, maka pembacaan Jilbab/Hijab/Kerudung berkembang lagi, tidak hanya sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi ideofak otomatis juga melekat karena Jilbab/Hijab/Kerudung adalah bagian dari syariat agama islam, yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian manusia dimuka bumi ini.

Sebagai mode, jilbab lahir dari konsep tentang kecantikan dan keindahan berstandar tinggi, bahkan ilahiah. Juga karena inilah kita bisa mengerti dan memaklumi adanya tuntutan agar pemakai jilbab harus punya spiritual quotient yang special ! Tidak saja anggun jilbabnya juga santun dan mewah akhlaknya, saya rasa semua pihak menerima ini sebagai titik ideal. Dalam hukum Islam -setidaknya yang mewajibkan penggunaan jilbab- urusan jilbab dapat dipandang sebagai syarat berbusana seorang wanita, yang tidak secara otomatis menyulap pemakainya menjadi wanita berakhlak indah, itu masih perlu banyak pembuktian yang lain. Maksud saya begini ; kalau ada dua wanita pencuri, yang satunya berjilbab dan yang lain tidak berjilbab, maka bobot dosanya berbeda. Pencuri berjilbab melanggar satu larangan yaitu mencuri, sedangkan yang tidak berjilbab melanggar dua larangan yaitu mencuri dan tidak berbusana dengan baik.

Abad ke 7 adalah abad dimana awal perintah berkerudung/berhijab, dalam konteks abad ke 7 di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat jauh dari pengaruh peradaban dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.(lihat: sejarah Muhammad, M Husein Haekal) Hal ini sebagai dampak dari geomorfologi Arab yang terpencil dan terkukung dari pegunungan dan padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh budaya yang cukup kecil terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat masih sesuai dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab. Jilbab/Hijab/Kerudung sebagai sebuah hasil pemahaman atas dalil agama juga belum mengalami perubahan akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan masih sesuai dengan makna, dan ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai dengan dalil adalah Jilbab/Hijab/Kerudung berarti: kain penutup kepala sehingga kain menjulur hingga dada. 

Hal ini dapat ditarik sebuah pengetian bahwa masyarakat pendukung kebudayaanJilbab/Hijab/Kerudung pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang Jilbab/Hijab/Kerudung, dan belum terfikirkan untuk merubah makna Kerudung/Hijab/Jilbab. Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami perkembangan dan persebaran mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainya, misalnya di sebagaian Negara timur-tengah berkembang model Jilbab/Hijab/Kerudung dengan cadar, burqa, niqop, dan masker, kemudian berkembang pula di Nusantara atau Melayu abad 19Jilbab/Hijab/Kerudung selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya di selampirkan. di kawasan timur juga berkembangJilbab/Hijab/Kerudung dengan motif hiasan tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos tanpa motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah perkembangan dalam berupaya untuk menafsiakan Jilbab/Hijab/Kerudung. Faktorya tentu banyak, hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman atas dalil agama.

Singkatnya dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya: pendapat yang masih menjadi perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa pada abad 19, masih sedikit masyarakat yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai ketentuan dalil, hanya sebatas selendang yang diselampirkan di kepala, hal ini sebagaian berpendapat bahwa, hal ini sebagai dampak pola penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Wali Songo, yang sangat toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu Wali Songo baru menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih Jilbab/Hijab/Kerudung, karena menyadari bahwa hal ini akan merubah budaya berpakaian masyarakat jawa yang sangat mencolok. Contoh lain dalam konteks kondisi lingkungan alam: misalnya pada masyarakat di Melayu, yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung dengan bahan dan motif yang lebih variatif, hal ini menggambarkan kondisi bahan bakuJilbab/Hijab/Kerudung, yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam masyarakat pendukungnya. Dan contoh yang terakhir adalah perubahanJilbab/Hijab/Kerudung karena pemahaman dalil agama yang menyebabkan berubahanya Jilbab/Hijab/Kerudung. Misalnya saja Cadar yang masih menjadi perdebatan para ulama dalam hal keharusanya memakai.

Dari semua proses dari awal pemahaman manusia atas dalil agama yang menyebutkan keharusan berkerudung/berhijab, hingga abad selanjutnya dalam proses perubahan Jilbab/Hijab/Kerudung dapat dimaknai bahwa manusia pendukung budaya materi Jilbab/Hijab/Kerudung memiliki pola fikir pada dimensi Jilbab/Hijab/Kerudung sebagai sebuah benda materi sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga tidak ada inovasi yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena factor-faktor yang sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan itu sendiri, ini hanya terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak pada masalah pergeseran ideologi.

Memaknai Fenomena Perubahan Budaya Materi: Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif

Yang dimaksud Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif dalam hal ini adalah sebuah Jilbab/Hijab/Kerudung yang penulis anggap hilang dari sisi nilai-nilai ideologis sebagai dasar kemunculnya, dan bergeser yang lebih menonjol pada sisi gaya hidup atau sebuah mode. Sehingga Kerudung/Hijab/Jilbab disini mengalami pergeseran makna, dari sacral menjadi profane. Kerudung/Hijab/Jilbab hari ini juga telah menjadi symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan sebatas symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan munculnyaJilbab/Hijab/Kerudung itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena Jilbab/Hijab/Kerudung kreatif telah menarik segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan bisnis memakai Jilbab/Hijab/Kerudung ini mengispirasikan sekelompok wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan kemudian mempunyai basis massa dan visi-missi tertentu.

Kemudian munculnya Jilbab/Hijab/Kerudung kreatif juga menumbuhkan sebuah klasifikasi yang baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana jeans misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai, baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk pada golongan mode kuna. Hal ini terjadi secara otomatis, sehingga celana pensil dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan masyarakat yang selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan Jilbab/Hijab/Kerudungini. Jilbab/Hijab/Kerudung ini mulai menjamur, apalagi dengan dukungan media massa dan elektronik, Jilbab/Hijab/Kerudung ini siap-siap akan menjadi pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan banyak memburu model ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada yang menggunakan Jilbab/Hijab/Kerudung “formal” maka secara otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.

Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan kepentingan. Ada beberapa tahapan yang penulis jabarkan disini tentu dalam kontek Indonesia. Pertama: bahwa munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab yang marak di Indonesia baru muncul pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya kerudungisasi dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk dipakai. Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik dan budaya pada masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan, sampai kondisi pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia hingga terakhir tragedi Tanjung Priok berdampak pada pengamalan agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup represif terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas Jilbab/Hijab/Kerudung ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde Baru sedikit muslimah yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab. Kedua: era tahun 90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut. Religiusitas Soeharto meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh yang selalu dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus, kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat keputusan presiden yang dikeluarkan.

Ketiga: pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di setiap lini aktivitas, dan juga dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini semakin mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi masing-masing. Keempat: kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasukJilbab/Hijab/Kerudung. Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat belum berfikiran akan memodifikasi gayaJilbab/Hijab/Kerudung mereka. hal ini tentu saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai simbol baru yang sebenarnya sudah lama dikenal, dampaknya adalah normative, dan masih sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan dalil.


Fase selanjutnya memang Jilbab/Hijab/Kerudung menjadi trend masyarakat muslimah indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang melegalkan Jilbab/Hijab/Kerudung, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massive Jilbab/Hijab/Kerudung menjadi hal yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi Jilbab/Hijab/Kerudung itu sendiri, ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.

Pemakaian jilbab yang salah sekarang marak digunakan oleh wanita- wanita muslimah, yaitu mereka memakai jilbab dikombinasikan dengan celana jean yang ketat atau celana pensil, , sehingga nampak aurat mereka yaitu terlihat pantantnya, bahkan ada juga yang mengkombinasikan dengan pakain kaos yang ketat sehingga tampak payudaranya, yang membuat merangsang para laki - laki. Fenomena ini sangat memprihatinkan, bukan pahala yang di dapat tetapi dosa yang di dapat. wahai para wanita muslimah pakailah JILBAB YANG SYAR"I.
Sumber internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar