Sejarah Jilbab/Kerudung dan Perkembangannya
Jilbab sudah
dikenal sejak dulu. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal
dalam banyak istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan,
milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijâb di beberapa
negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Terlepas dari istilah
yang digunakan, sebenarnya konsep berjilbab memang milik semua agama. Misalnya
dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, dikenal beberapa istilah yang
semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demikian pula dalam kitab Injil yang
merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) diistilahkan dengan
zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Menurut
Eipstein, seperti dikutip Ust. Nasaruddin Umar dalam tulisannya, "Hijâb
sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani /
Kristen)" jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM),
kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500
SM). Ketentuan penggunaan jilbab bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua
seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Dengan demikian sejarah mencatat
bahwa jilbab sendiri merupakan bagian dari busana yang dianjurkan atau
dikenalkan atau di wajibkan atau menjadi identitas dari agama-agama besar di
dunia. Dapat disimpulkan bahwa jilbab/Hijaab muncul dari lingkungan keagamaan
dan menjadi tradisi kehormatan di lingkungan terhormat (kerajaan, biara, ordo,
tempat ibadah, dsb). Bila membandingkan dengan sejarah rok mini, jelas jilbab
lahir dari semangat dan miliu yang berbeda.
Jilbab/Hijab/Kerudung
awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya akibat dari dorongan syaraiat,
artinya munculnya ide budaya materi Jilbab/Hijab/Kerudung adalah berasal dari
hukum Alloh yang jelas, sudah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud,
dan dalam kadar seperti apa sesuatu bisa disebut sebagai sebuah
Jilbab/Hijab/Kerudung (Al ~ Qur’an surat An – Nur (24): 31).
Sehingga manusia tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini,
penulis menafsirkan awalnyaJilbab/Hijab/Kerudung masih sebatas sebagai fungsi
teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi untuk
menutupi bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat oleh orang lain, untuk
menghindari maksiat bagi yang melihat( Al ~ Qur’an surat Al – Ahzab (33): 59).
Kemudian fungsiJilbab/Hijab/Kerudung tidak hanya sebatas sebagai fungsi teknis
saja. Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah, akan tetapi
Jilbab/Hijab/Kerudungjuga sebagai sebuah identitas bagi si pemakainya.
akibatnya masyarakat Arap yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai syariat
memiliki identitas sosial baru, yaitu sebagai seorang wanita muslim yang
dihormati dan lelaki segan dan tidak menggangu, demikianlah catatan sejarah
berkata. Sehingga jika Jilbab/Hijab/Kerudung dikaitkan sebagai sebuah identitas
sosial kaitanya dengan keagamaan, maka pembacaan Jilbab/Hijab/Kerudung
berkembang lagi, tidak hanya sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi
ideofak otomatis juga melekat karena Jilbab/Hijab/Kerudung adalah bagian dari
syariat agama islam, yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian
manusia dimuka bumi ini.
Sebagai mode,
jilbab lahir dari konsep tentang kecantikan dan keindahan berstandar tinggi,
bahkan ilahiah. Juga karena inilah kita bisa mengerti dan memaklumi adanya
tuntutan agar pemakai jilbab harus punya spiritual quotient yang special ! Tidak
saja anggun jilbabnya juga santun dan mewah akhlaknya, saya rasa semua pihak
menerima ini sebagai titik ideal. Dalam hukum Islam -setidaknya yang
mewajibkan penggunaan jilbab- urusan jilbab dapat dipandang sebagai syarat
berbusana seorang wanita, yang tidak secara otomatis menyulap pemakainya
menjadi wanita berakhlak indah, itu masih perlu banyak pembuktian yang lain.
Maksud saya begini ; kalau ada dua wanita pencuri, yang satunya berjilbab dan
yang lain tidak berjilbab, maka bobot dosanya berbeda. Pencuri berjilbab
melanggar satu larangan yaitu mencuri, sedangkan yang tidak berjilbab melanggar
dua larangan yaitu mencuri dan tidak berbusana dengan baik.
Abad ke 7
adalah abad dimana awal perintah berkerudung/berhijab, dalam konteks abad ke 7
di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat jauh dari pengaruh peradaban
dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.(lihat: sejarah Muhammad, M Husein
Haekal) Hal ini sebagai dampak dari geomorfologi Arab yang terpencil
dan terkukung dari pegunungan dan padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh
budaya yang cukup kecil terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat
masih sesuai dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab.
Jilbab/Hijab/Kerudung sebagai sebuah hasil pemahaman atas dalil agama juga
belum mengalami perubahan akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan masih sesuai
dengan makna, dan ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai dengan dalil adalah
Jilbab/Hijab/Kerudung berarti: kain penutup kepala sehingga kain menjulur
hingga dada.
Hal ini dapat
ditarik sebuah pengetian bahwa masyarakat pendukung
kebudayaanJilbab/Hijab/Kerudung pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan
dalil tentang Jilbab/Hijab/Kerudung, dan belum terfikirkan untuk merubah makna
Kerudung/Hijab/Jilbab. Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami perkembangan dan
persebaran mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainya, misalnya di sebagaian
Negara timur-tengah berkembang model Jilbab/Hijab/Kerudung dengan cadar, burqa,
niqop, dan masker, kemudian berkembang pula di Nusantara atau Melayu abad
19Jilbab/Hijab/Kerudung selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya
di selampirkan. di kawasan timur juga berkembangJilbab/Hijab/Kerudung dengan
motif hiasan tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos
tanpa motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah
perkembangan dalam berupaya untuk menafsiakan Jilbab/Hijab/Kerudung. Faktorya
tentu banyak, hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan
pemahaman atas dalil agama.
Singkatnya
dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya: pendapat yang masih menjadi
perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa pada abad 19, masih sedikit
masyarakat yang memakai Jilbab/Hijab/Kerudung sesuai ketentuan dalil, hanya
sebatas selendang yang diselampirkan di kepala, hal ini sebagaian berpendapat
bahwa, hal ini sebagai dampak pola penyebaran agama islam yang dilakukan oleh
Wali Songo, yang sangat toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu
Wali Songo baru menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih
Jilbab/Hijab/Kerudung, karena menyadari bahwa hal ini akan merubah budaya
berpakaian masyarakat jawa yang sangat mencolok. Contoh lain dalam konteks
kondisi lingkungan alam: misalnya pada masyarakat di Melayu, yang memakai
Jilbab/Hijab/Kerudung dengan bahan dan motif yang lebih variatif, hal ini
menggambarkan kondisi bahan bakuJilbab/Hijab/Kerudung, yang sesuai dengan
kondisi sumber daya alam masyarakat pendukungnya. Dan contoh yang terakhir
adalah perubahanJilbab/Hijab/Kerudung karena pemahaman dalil agama yang
menyebabkan berubahanya Jilbab/Hijab/Kerudung. Misalnya saja Cadar yang masih
menjadi perdebatan para ulama dalam hal keharusanya memakai.
Dari semua
proses dari awal pemahaman manusia atas dalil agama yang menyebutkan keharusan
berkerudung/berhijab, hingga abad selanjutnya dalam proses perubahan
Jilbab/Hijab/Kerudung dapat dimaknai bahwa manusia pendukung budaya materi
Jilbab/Hijab/Kerudung memiliki pola fikir pada dimensi Jilbab/Hijab/Kerudung
sebagai sebuah benda materi sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga
tidak ada inovasi yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena factor-faktor
yang sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan itu sendiri, ini hanya
terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak pada masalah pergeseran
ideologi.
Memaknai
Fenomena Perubahan Budaya Materi: Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif
Yang dimaksud
Jilbab/Hijab/Kerudung Kreatif dalam hal ini adalah sebuah Jilbab/Hijab/Kerudung
yang penulis anggap hilang dari sisi nilai-nilai ideologis sebagai dasar
kemunculnya, dan bergeser yang lebih menonjol pada sisi gaya hidup atau sebuah
mode. Sehingga Kerudung/Hijab/Jilbab disini mengalami pergeseran makna, dari
sacral menjadi profane. Kerudung/Hijab/Jilbab hari ini juga telah
menjadi symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan sebatas
symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan
munculnyaJilbab/Hijab/Kerudung itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol
lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya penulis
juga menemukan sebuah fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena Jilbab/Hijab/Kerudung
kreatif telah menarik segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah
perkumpulan yang dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi,
kegemaran dan bisnis memakai Jilbab/Hijab/Kerudung ini mengispirasikan
sekelompok wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan
kemudian mempunyai basis massa dan visi-missi tertentu.
Kemudian
munculnya Jilbab/Hijab/Kerudung kreatif juga menumbuhkan sebuah klasifikasi
yang baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks zaman sekarang. Misalnya
kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah menggambarkan hal ini. Lagam atau
model pada budaya materi celana jeans misalnya, tahun 70-an umum telah
berkembang model calana jeans cutbrai, baru pada tahun 90-an model ini sempat
menghilang, dan kembali muncul tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010
menghilang karena model celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara
otomatis akan menganeliasi gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih
memakai celana jeans cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions
dia akan masuk pada golongan mode kuna. Hal ini terjadi secara otomatis,
sehingga celana pensil dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan
masyarakat yang selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan
Jilbab/Hijab/Kerudungini. Jilbab/Hijab/Kerudung ini mulai menjamur, apalagi
dengan dukungan media massa dan elektronik, Jilbab/Hijab/Kerudung ini siap-siap
akan menjadi pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan banyak memburu
model ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang berlaku pada celana jeans,
bahwa jika masih ada yang menggunakan Jilbab/Hijab/Kerudung “formal” maka
secara otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal
ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.
Kemunculan
mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang kita banyangkan.
Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan kepentingan. Ada beberapa
tahapan yang penulis jabarkan disini tentu dalam kontek Indonesia. Pertama:
bahwa munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab yang marak di Indonesia baru muncul pasca
tumbangnya rezim Orde Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya
kerudungisasi dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana
Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk dipakai. Hal ini
memang sangat terkait dengan situasi politik dan budaya pada masa itu.
Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan, sampai kondisi pemerintah yang
antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan
Negara Islam Indonesia hingga terakhir tragedi Tanjung Priok berdampak pada
pengamalan agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup
represif terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang
dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas
Jilbab/Hijab/Kerudung ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde
Baru sedikit muslimah yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab. Kedua: era tahun
90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai
sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut.
Religiusitas Soeharto meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh
yang selalu dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus,
kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat keputusan presiden
yang dikeluarkan.
Ketiga: pasca
reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di
setiap lini aktivitas, dan juga dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini
semakin mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi
masing-masing. Keempat: kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan
symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasukJilbab/Hijab/Kerudung.
Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat belum
berfikiran akan memodifikasi gayaJilbab/Hijab/Kerudung mereka. hal ini tentu
saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai simbol baru
yang sebenarnya sudah lama dikenal, dampaknya adalah normative, dan masih sesuai
dengan ketentuan yang selaras dengan dalil.
Fase
selanjutnya memang Jilbab/Hijab/Kerudung menjadi trend masyarakat muslimah
indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang melegalkan
Jilbab/Hijab/Kerudung, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga
pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massive Jilbab/Hijab/Kerudung menjadi hal
yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah
sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi Jilbab/Hijab/Kerudung itu
sendiri, ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang
muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang
diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi
jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.
Pemakaian jilbab yang salah sekarang marak digunakan oleh wanita- wanita muslimah, yaitu mereka memakai jilbab dikombinasikan dengan celana jean yang ketat atau celana pensil, , sehingga nampak aurat mereka yaitu terlihat pantantnya, bahkan ada juga yang mengkombinasikan dengan pakain kaos yang ketat sehingga tampak payudaranya, yang membuat merangsang para laki - laki. Fenomena ini sangat memprihatinkan, bukan pahala yang di dapat tetapi dosa yang di dapat. wahai para wanita muslimah pakailah JILBAB YANG SYAR"I.
Sumber internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar