Berbicara mengenai
jilbab di Indonesia, terutama mengenai sejarahnya bukan perkara mudah.
Tak banyak tulisan yang memuat khusus mengenai itu. Sumber-sumber sejarah yang
menyingkap perjalanan jilbab di tanah air pun tidak melimpah, setidaknya jika
berkaitan dengan sumber sejarah sebelum abad ke 20. Namun mengingat pentingnya
jilbab sebagai bagian dari syariat Islam dalam kehidupan umat Islam saat ini,
tulisan ini akan menelusuri perjalanan jilbab di tanah air.
Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita
muslim amat mungkin sudah diketahui sejak lama. Sebab telah banyak ulama-ulama
Nusantara yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Ilmu yang ditimba di tanah suci,
disebarkan kembali ke tanah air oleh para ulama tersebut. Kesadaran untuk
menutup aurat sendiri, pastinya dilakukan setidaknya ketika perempuan sedang
sholat . G.F Pijper mencatat, istilah ‘Mukena’, setidaknya telah dikenal sejak
tahun 1870-an di masyarakat sunda. Meskipun begitu, pemakaian jilbab dalam
kehidupan sehari-hari tidak serta merta terjadi di masyarakat. [1]
Satu hal yang pasti, sejak abad ke 19,
pemakaian jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat dari
sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan revolusioner ini, turut
memperjuangkan pemakaian jilbab di masyarakat.[2]
Kala itu, mayoritas masyarakat
Minangkabau tidak begitu menghiraukan syariat Islam, sehingga banyak sekali
terjadi kemaksiatan. Menyaksikan itu, para ulama paderi tidak tinggal diam.
Mereka memutuskan untuk menerapkan syariat Islam di Minangkabau, termasuk
aturan pemakaian jilbab. Bukan hanya jilbab, aturan ini bahkan mewajibkan
wanita untuk memakai cadar[3] Akibat dakwah Islam yang begitu intens
di Minangkabau, Islamisasi di Minangkabau telah meresap sehingga syariat Islam
meresap ke dalam tradisi dan adat masyarakat Minang. Hal ini dapat kita lihat
dari bentuk pakaian adat Minangkabau yang cenderung tertutup.
Di Aceh, seperti juga di Minangkabau, di
mana dakwah Islam begitu kuat, pengaruh Islam juga meresap hingga ke aturan
berpakaian dalam adat masyarakat Aceh. Adat Aceh menetapkan, “orang
harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki harus
ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka telah berbadju, bercelana, dan
berkain sarung. Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya.
Kepalanja harus ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.” . Selain pemberlakuan hukum pidana Islam,
ia juga mewajibkan kerudung bagi masyarakat Wajo.[5]
Menjelang abad ke 20, teknologi cetak
yang telah lazim di tanah air turut membantu penyadaran kewajiban perempuan
untuk berjilbab di masyarakat. Sayyid Uthman, seorang ulama dari Batavia
menulis persoalan jilbab ini dalam bukunya ‘Lima Su’al Didalam
Perihal Memakai Kerudung’ yang terbit pada Oktober 1899. [6] Tidak hanya perkembangan teknologi
cetak, gerakan reformasi Islam dari timur tengah, khususnya dari Mesir turut
mempengaruhi dakwah di Indonesia. Salah satunya yang terdapat di Sumatera
Barat.
Gerakan yang dipelopori oleh ‘Kaoem
Moeda’ ini menggemakan kembali kewajiban jilbab
di masyarakat Minangkabau. Syaikh Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal
dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal menyuarakan kewajiban wanita muslim
menutup aurat. Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.[7] Ayah Buya Hamka ini mengkritik keras kebaya pendek khas Minangkabau.
Kritik beliau dapat kita lihat dalam bukunya, Cermin
Terus. Kritik keras terhadap pakaian wanita ini kemudian menjadi polemik di
masyarakat.
Diceritakan oleh Buya Hamka dalam
bukunya yang berjudul “Ayahku; Riwayat
Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera”, bahwa ayahnya
menentang kebaya pendek itu karena tidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat
ulama-ulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang sengaja digunting
untuk menunjukkan (maaf) pangkal payudara.
Di pulau Jawa,
banyaknya wanita muslim yang tidak menutupi kepala, mendorong gerakan reformis
muslim menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif
menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim
sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara bertahap.
Awalnya ia meminta untuk memakai
kerudung meskipun rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan mereka
untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay. Pemakaian kudung ini dicemooh oleh sebagian orang. Mereka
mencemoohnya dengan mengatakan,“Lunga nang lor plengkung[10], bisa
jadi kaji” (pergi ke utara plengkung, kamu akan
jadi haji). Namun KH. Ahmad Dahlan tak
bergeming. Ia berpesan kepada murid-muridnya, “Demit
ora dulit, setan ora Doyan, sing ora betah bosok ilate,” (Hantu tidak menjilat, setan tidak suka yang tidak tahan busuk lidahnya).
Upaya menggemakan kewajiban jilbab ini terus berjalan. Tak hanya itu, ia
mendorong wanita untuk belajar dan bekerja, semisal menjadi dokter, ia tetap
menekankan wanita untuk menutup aurat dan melakukan pemisahan antara laki-laki dan
perempuan.[11] Organisasi Muhammadiyah sendiri
pernah mengungkapkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan ujung
tangan sampai pergelangan tangan.
Organisasi Al Irsyad juga turut
menyuarakan kewajiban jilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah,
kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang berjudul Wanita
dalam Islam Menurut Pandangan Golongan al-Irsyad. Salah satu
hasil kongresnya menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala dan tubuh
mereka kecuali wajah dan telapak tangan.[13]
Selain Muhammadiyah dan Al Irsyad,
Persis menjadi organisasi yang amat gigih dan aktif menyuarakan kewajiban
jilbab bagi wanita. Melalui majalah Al-Lisaan tahun 1935, Persis secara tegas menyatakan tubuh wanita yang boleh
kelihatan hanya muka dan pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala
wanita harus ditutup. [14] Tokoh Persis, Ahmad Hassan menulis syiar
pertamanya tentang kewajiban jilbab bagi wanita Muslim pada tahun 1932.
Anggota wanita dari Persis pun mengenakan gaya jilbab yang berbeda.
Mereka benar-benar menutupi kepala mereka dan hanya menunjukkan wajah. Rambut,
leher, telinga dan bagian dada tertutup oleh jilbab. Mereka memakainya tidak
hanya ketika melakukan perayaan atau kegiatan keagamaan, tapi juga sebagai
pakaian sehari-hari. Ini sebuah kebiasaan baru dan disertai keyakinan bahwa
bila wanita yang tidak menutupi kepalanya, maka akan masuk neraka. Hal
ini mengundang reaksi sebagian masyarakat. Bahkan akibat memakai jilbab sesuai
arahan Persis ini, di Pamengpeuk, seorang muslimah dilempari batu.[15]
Kegigihan memperjuangkan jilbab, tak
hanya dilakukan oleh organisasi muslim reformis. Nahdlatul Ulama (NU)
menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang
digelar pada Juni tahun 1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan
agar kaum ibu dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Alasannya agar kaum ibu menutup
auratnya sesuai syariat Islam.
“Berhubung dengan jang dibilang aurat dari
perempoean itu adalah seloeroeh badannja, teroetama ramboet, tangan, dsb. Itoe
telah diketahoei oleh oemoem, maka itoelah sebabnja, Soerabaja tetap
mempertahankan pendiriannja, karena jang dimaksoed oleh oesoel itu,
hanjalah penoetoepan rambut sadja (dan dengan sendirinja leher tertoetoep
djoega oleh keadaan jang sangat memaksanja). Soerabaja tak akan merobah
pendiriannja itoe.” [16]
Lebih dari itu, KH. Tohir Bakri
mengungkapkan alasan cabang tersebut karena sesuai dengan hukum-hukum Islam dan
terdorong untuk mencegah timbulnya korban dari kaum ibu pada zaman modern.
Mendengar hal ini, HBNO (PBNU) mendukung usul itu, sebab kaum ibu akan menjadi
contoh bagi orang awam, kemudian turut menjaganya dari kemaksiatan, dan
menghargai kaum ibu di tengah kemaksiatan yang merajalela.[17]
Akhirnya, Voorzitter memutuskan ustadzah-ustadzah dan murid-murid Madrasah
Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna
Said. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan keadaan dan kebiasaan
suatu tempat yang berbeda-beda serta belum ada organisasi khusus bagi kaum ibu
NU.[18] Dalam keputusan Muktamar NU ke-8 di
Jakarta, tanggal 2 Muharram 1352 H/ 7 Mei 1933, diungkap bahwa menurut pendapat
yang paling shahih dan terpilih, seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat
kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam ataupun luarnya.[19]
Tahun 1940 di Solo, dua orang tokoh
keturunan Bani Alawi, Idrus Al-Mansyhur dan Ali Bin yahya mulai menggerakkan
dakwah pemakaian ‘berguk’ bagi wanita. ‘Berguk’ berasal dari kata Burqa. Di sebuah pertemuan yang dihadiri 60
orang, terdapat keprihatinan di kalangan mereka akan degradasi moral kaum
wanita. Ketika itu dibicarakan, sudah banyak wanita yang keluar tanpa kerudung.
Sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka merasa telah mengkhianati beliau.
Ahmad bin Abdullah Assegaf, Segaf Al Habsyi dan Abdul Kadir Al Jufri sependapat
untuk mewajibkan Berguk kepada wanita dikalangan Alawiyyin. Dakwah ini tidak
hanya di Solo, namun mulai merebak ke Surabaya dan menimbulkan pertentangan.
Namun akhirnya kampanye pemakaian ‘Berguk’ surut dengan sendirinya.
Ilustrasi ‘Berguk’ (burqa) di Majalah Aliran Baroe, “Mana Dia? Bergoeknya
Toean Bin
Yahya Masyhoer,” No. 21 (1940), p. 19. Sumber: Tantowi, Ali . The Quest of
Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal
of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta,
Volume 04, Number 01, June 2010.
Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit
mendapat pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa mewarnai era
1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang berafiliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak mendukung
kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru dengan beberapa pihak. Sikap PAI yang
tidak mengurusi soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah melalui
majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah –organisasi perempuan yang menginduk pada Muhammadiyah- ini[20], Siti Zoebaidah menegaskan bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab.[21] Kaum Aisyiyah memang dikenal selalu
memakai jilbab. Hal ini diungkap dalam Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah
Hindia Timur 1927 bahwa, “Rambut kaum Aisyiyah selalu ditutup dan
tidak akan ditunjukkan, sebab termasuk aurat..
Perjuangan Berat di Masa Orde Baru.
Jika pada masa sebelum
kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik di media massa, namun di orde
baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam khususnya muslimah
mendapat tentangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan
dan pihak militer.
Militer, dalam hal ini angkatan darat,
muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik orde
baru. Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik
eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur
adalah bekas perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan camat serta
40% dari kepala desa.
Selama dua dekade pemerintahan orde
baru, terhitung 71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang
tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk
tahun 1982 terdiri dari 44 % militer. Sejarawan Alwi Alatas menilai salah
satu tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal tercapainya tujuan
orde baru. Pemerintah orde baru mencita-citakan suksesnya program pembangunan
yang mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan politik dan ekonomi
yang ditopang kuat oleh kestabilan pertahanan dan keamanan.[24]
Hal senada juga diungkapkan oleh
sejarawan Tiar Anwar Bachtiar. Menurutnya, dalam membangun stabilitas
politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara, Soehato dikelilingi
tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan
keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target
ekonomi pemerintah orde baru.
Dominasi militer
ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan
nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap
dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat
kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima
oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan pelajar putri.
Salah satu hal yang
menggelitik untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme
dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam
SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu.
Di dalam SK itu,
sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah
di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah,
maka harus secara keseluruhan pelajar putri di sekolah memakai jilbab.
Dengan kata lain hanya ada satu paket
seragam saja di sekolah. Dan pilihan untuk pelajar-pelajar muslimah: pakai
jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu tidak aneh bila hal ini
menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan yang mendukung jilbab.
Apakah ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-sekolah menengah
negeri atau hanya sekadar keinginan mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi
kebanyakan pelajar muslimah? [26]
Upaya yang dilakukan pemerintah lewat
pihak sekolah dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga memperlihatkan
pendekatan militer di dalamnya. Contohnya, ketika Ratu, salah seorang pelajar
putri yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi bermasalah dengan pihak
sekolah. Muttaqien, salah seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa
pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security
approach (pendekatan keamanan). Ketika datang ke
SMAN 68 untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui Kepala Sekolah,
Subandio. Namun pada saat itu Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass.
Intel Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau “macam-macam.” SMAN 68 sendiri pada saat ia datang, dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien
mengakui juga bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di luar
pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan dengan ancaman “Bapak
besok akan mati!”
Selain itu, rumah para siswi berjilbab,
atau orang-orang yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab, didatangi
oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan diberi peringatan untuk
berhati-hati terhadap mereka. Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.[27]
Terlihat juga ketidakpahaman guru maupun
pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud/ P dan K) terhadap
masalah hukum Islam dalam hal pakaian muslimah. Sebagai contoh, tidak
lama setelah kemunculan SK 052, terjadi kasus pelarangan jilbab di SMAN 3
Bandung pada tahun 1982. Wargono, guru olah raga di sekolah itu mengutip
ayat-ayat Al-Qur’an dan menyatakan masalah pakaian dikembalikan kepada
ciri-ciri (tradisi setiap bangsa). Menurutnya, penutup aurat yang dituntut oleh
ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dan
bukan menurut kebiasaan di tempat Islam berasal. Guru olah raga ini mewajibkan
murid-muridnya mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi
berjilbab yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.[28]
Awal tahun 1980-an memang merupakan
periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan atau
konflik antara Islam dan pemerintah. Kedua pihak kerap bersitegang. Politik
Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan
ini. [29]
Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya
tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada
kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya
karena dicurigai sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab pada saat itu
dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.
Maret 1984, pihak
Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi
keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut
pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri
serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.
Sikap sekelompok masyarakat tersebut
dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain
memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis pakaian yang menyimpang/tidak
sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu
ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan
sebaliknya bahwa “aksi jilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan
suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik.
Cara pandang seperti ini tampaknya
menurun pada sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau bahkan
membenci siswi-siswi yang memakai jilbab. Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah
menuding siswi berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka “mewakili
gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya gerakan apa yang
dimaksud, sang guru diam, tidak bisa menjawab.
Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68
Jakarta, di dalam catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang guru
agamanya, “Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka
Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau kalian berjilbab karena ada
unsur-unsur politik dan sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak
sekolah.”
Berangkat dari kenyataan-kenyataan di
atas, maka tidak mengherankan bila SK ini segera memakan korban.
Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari
sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP,
dikejar-kejar kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, “Saya
hanya melaksanakan perintah atasan.”, kemudian dimaki-maki oleh orang tua
sendiri, dan lain sebagainya.
Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi,
bila pihak Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya. Di dalam SK 052,
tertulis adanya masa peralihan dua tahun untuk menerapkan aturan seragam
sekolah nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran 1984/1985 pakaian
seragam ini baru digunakan secara penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan,
Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaan
seragam sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”, bukan instruksi
atau surat perintah, sehingga tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi
sanksi hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sanksi
sosial yang datang dari sekolah lain yang telah menerapkan atau dari tim
penilai sekolah teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat memenuhi
kriteria.”
Pada kenyataannya, bukan seperti itu
yang terjadi. Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan guru-guru
dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan, larangan belajar, hingga pengembalian
pada orang tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas
melarang jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi landasan bagi
pihak sekolah untuk ‘mengharamkan’ pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.[30]
Tanggapan beberapa ormas Islam serta
masyarakat mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada tanggal 8 Desember1982. Dalam surat
setebal empat halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya atas
masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah
Ukhuwah Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di
bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. DDII terus
berkorespondensi dengan MUI. Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi
tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan sebulan berikutnya kembali
mengirimkan informasi tambahan yang mereka kumpulkan.
Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan
surat pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada semua pihak yang
berwenang dan terlibat, antara lain ditujukan kepada Ketua MPR-DPR,
Menteri-menteri, dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab. Pada tanggal
17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan Pembela Masjidil Aqsho (BPMA)
menyampaikan, “Teriakan hati kepada semua pihak yang
menangani pendidikan.”Mereka menyatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi kaum
mukminah, pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya akan
menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pengurus Pusat Wanita Muslim juga
memberi perhatian terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada tanggal 21
Januari 1983 yang ditujukankepada Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud
diminta untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi
kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana sesuai dengan keyakinan ajaran
agamanya dan untuk tetap dapat mengikuti pelajaran.”
Media massa Serial
Media Dakwah dan Harian Pelita turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak meliput pihak yang merasa
dirugikan oleh permasalahan jilbab ini. Pemberitaan Tempo pada tanggal 11 Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan tersendiri bagi pelajar-pelajar
berjilbab.
Pada tanggal 15 Januari 1983,
siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan
Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan
mengikuti pelajaran dengan tetap mengenakan pakaian muslimah.[31]
Pada masa-masa
berikutnya, terjadi komunikasi yang semakin intensif antara umat Islam yang
diwakili MUI dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak kunjung hasil
dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi tidak membuat MUI menyerah
memperjuangkan jilbab. Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru
semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan
Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang
ada.
Sementara di tingkat
nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan Pemerintah menjadi lebih
akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk
mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap pemerintah Orde Baru yang
selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser, dan Depdikbud
pun mau tidak mau harus mengikuti bandul itu.
Akhir 1989 atau awal
1990, MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali
peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil Munas tersebut, MUI
beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen
Dikdasmen. Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas,
bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan
peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada
tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani,
setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan
Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.
Dalam SK yang baru itu, SK No.
100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah
istilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan ”Siswi (SMP dan SMA)
yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah
yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai
lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk
seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan
jilbab atau jilbabnya. [32]
Perjuangan pemakaian
jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan
pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi
menjaga kemuliaan wanita itu mampu mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab
di Indonesia.
Perjuangan syariat
jilbab memang bukan perkara mudah. Semenjak masuknya Islam ke nusantara,
terjadi proses bertahap dalam menjadikan jilbab sebagai bagian dari masyarakat
di nusantara. Proses bertahap ini berbeda-beda di setiap wilayahnya. Di daerah
dikenal Islam berpengaruh amat kuat seperti Aceh dan Minangkabau, Islam telah
meresap jauh ke adat masyarakat hingga ke soal berpakaian sehingga membuat
masyarakatnya lebih mudah untuk berpakaian lebih tertutup.
Kebijakan-kebijakan
kolonial yang kerap mencoba memisahkan Islam dari masyarakat memperberat
perjuangan ini. Jilbab dalam kehidupan sehari-hari pun sempat menjadi sesuatu
yang asing dari hati umat Islam. Namun Jilbab tak pernah benar-benar lepas dari
hati wanita di nusantara. Ibadah sholat lima waktu yang mewajibkan menutup
aurat wanita, membuat jilbab tetap hadir meski tidak setiap saat. Terus
bertambahnya arus umat dan ulama yang pergi ke tanah suci, menggelorakan dakwah
di tanah air. Perjuangan ulama yang memanfaatkan media massa turut menghidupkan
dakwah jilbab di Indonesia. Peran-peran ormas Islam semacam NU, Muhammadiyah,
Al irsyad, dan Persis yang dengan gigih menanamkan kesadaran berjilbab di
masyarakat, perlahan tapi pasti, mampu mengubah rupa wanita Indonesia dalam
teduhnya kemuliaan jilbab. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan
jilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab.
Bagaimana pun, bagi
muslimah, pemakaian jilbab adalah proses yang melibatkan dua aspek yang saling
bertalian, yaitu kesadaran pribadi sekaligus contoh di masyarakat. Semakin
banyak yang berjilbab, bagaimanapun akan semakin mudah bagi muslimah lain untuk
ikut memakainya. Maka para muslimah pelopor Jilbab di masyarakat di masa lalu adalah
para pelopor yang akhirnya menyemarakkan pemakaian Jilbab di masyarakat kita
saat ini.
Melihat situasi
saat ini, perjuangan jilbab di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
membutuhkan perhatian dan dukungan kita. Pemakaian Jilbab bagi muslimah dalam
TNI sepatutnya tidak perlu menjadi kekhawatiran pihak mana pun. Terlebih,
Kepolisian Republik Indonesia telah memulainya.
Tentu kita tidak bisa
hanya menunggu. Perjuangan kita untuk merebut kemerdekaan berjilbab di negeri
mayoritas muslim ini masih panjang. Dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan dari
TNI dan dukungan besar ormas-ormas Islam, MUI, dan media massa, dan segenap
umat Islam demi terwujudnya kemerdekaan itu.
Oleh: Andi Ryansyah –
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar